Jumat, 05 Februari 2016

SIWA – SANG PENDAUR ULANG SEMESTA

Nama Lain : Mahadewa, Hara, Chandra-Sekhara, Civan, Nataraja, Rudra, Sada-Shiva, Shib, Siva, Syiwa, Manyu, Manu, Mahinasa, Mahan, Neelakantha, Rtadhvaja, Ugrareta, Bhava, Sarwa, Satyam, Shivam, Sundaram, Kala, Mahakala, Vamadeva, Manikmaya, dan Dhrtavrata.
Arti Nama : Yang Sangat Spesial (Siwa), Yang Menaruh Bulan Di Atas Kepalanya (Chandra-Sekhara), Guntur (Rudra), Pemanah (Sarwa), Si Leher Biru (Neelakantha), Waktu (Kala), Pelenyap Segala (Hara), Penguasa Segala Tarian (Nataraja).
Ras : Trimurti
Awatara : Nandi, Virabadhra, Sharaba, Hanoman, dan Durwasa.
Peran : Dewa Alam Liar, Pendaur Ulang Semesta.
Wahana : Lembu Nandi
Pasangan : Sati (Uma) dan Parwati (Durga).
Anak : Ganesha, Murugan / Mala, Andhaka, (dan Kala serta Ayyapan)
Realm : Iswaraloka / Gunung Kailash
Senjata : Damaru, Haradhanu, Pinaka, Pasopati / Pashupatastra, dan Trishula
GAMBARAN UMUM
Di antara ketiga Trimurti, mungkin Siwa adalah yang paling populer di India dan di Nusantara ini. Biasa digambarkan sebagai dewa berkulit biru dan selalu bawa-bawa trisula ke mana saja ia pergi, Siwa adalah dewa dengan penampilan paling ‘eksentrik’ dalam pantheon Hindu. Mari kita bandingkan saja penampilannya dengan dewa-dewa lain. Saat dewa-dewa lain memakai mahkota, Siwa tidak memakai hiasan kepala apapun selain sebuah ikat rambut dan hiasan bulan sabit. Saat dewa-dewa lain memakai zirah emas, Siwa hanya memakai baju kulit hewan atau celana pendek semata. Selain itu, sepertinya tidak ada dewa lain yang memakai hiasan tulang serta ular kobra di leher mereka.
Siwa adalah dewa pertapa dan penyendiri, ia jarang turun ke dunia kecuali jika Wisnu atau Brahma minta bantuannya. Ia menyelimuti dirinya sendiri dengan abu jenazah sebagai perilaku hidup estetik pertapa – sesuatu yang masih dilakukan oleh beberapa pertapa-pertapa Hindu di India saat ini (meski abunya tampaknya bukan lagi abu jenazah).
Siwa digambarkan memiliki empat lengan sebagaimana kebanyakan dewa Hindu lainnya. Dua dari empat lengannya ini biasanya memegang Trisula dan Damaru (drum), tapi terkadang Damaru ini dipasang pada ujung trisula miliknya.
PASCA PEMENGGALAN KEPALA BRAHMA
Pasca memenggal salah satu kepala Brahma. Siwa hidup menyendiri dan menyepi, menjauhi segala hiruk-pikuk dunia. Ia memilih tinggal di sebuah tempat bernama Kailash atau juga disebut Iswaraloka untuk melakukan tapa penyucian diri. Karena meskipun dewa-dewa (termasuk Siwa) punya kekuatan luar biasa, mereka tetap terikat pada hukum karma – hukum kausalitas.
Memenggal kepala Brahma sama saja mendatangkan karma buruk bagi Siwa. Karma buruk ini sangat terasa dari sikap banyak dewa pada Siwa, mereka, terutama Prajapati Daksha, sangat sinis dan benci pada Siwa, sehingga Siwa memutuskan untuk menyepi, hidup selibat, tidak menikah, dan bersikap pasif.
MENIKAH DENGAN UMA
Prajapati Daksha, salah satu dari anak-anak Brahma, dan juga saudara lelaki Kashyapa – ayah para Aditya, memiliki banyak putri. Salah satunya bernama Sati atau Uma. Sejak usia lima tahun, Sati menjadi sangat ‘berbeda’ dari ayahnya. Ia sangat ingin memuja Siwa dan saat menginjak usia dewasa, ia tak ingin menikahi seorang pun selain Siwa.
Daksha tidak setuju dengan pilihan Sati, tapi Sati yang keras kepala kabur dari istana ayahnya, lalu hidup selayaknya pertapa di hutan belantara. Setelah beberapa lama menjalani hidup ala pertapa, Siwa pun muncul di hadapan Sati dan langsung jatuh hati pada Sati. Siwa pun akhirnya melamar Sati pada Daksha, tapi Daksha tidak setuju Siwa menjadi menantunya. Daksha baru setuju ketika Brahma muncul di istananya dan menyuruh Daksha untuk menyetujui pernikahan Siwa dan Sati.
Ketika Siwa memboyong Sati pulang ke Iswaraloka, Siwa memastikan tempat tinggalnya yang seharusnya hanya tertutup es itu menjadi taman bunga yang hangat di mana bunga dan segala buah tumbuh sepanjang tahun tanpa terpengaruh musim.
CHANDRA-SEKHARA
Pada mulanya Siwa tidak punya hiasan bulan sabit di atas kepalanya. Tapi suatu ketika sang dewa bulan Chandra – yang juga saudara iparnya (sama-sama menantu Prajapati Daksha) – datang kepada Siwa dan mengatakan bahwa karena telah melalaikan kewajibannya pada 27 istrinya, Daksha telah mengutuknya dengan penyakit paru-paru dan membuat kekuatannya melemah dari waktu ke waktu. Siwa setuju untuk mengizinkan Chandra berlindung padanya. Chandra pun kemudian menjadi hiasan bulan di atas kepala Siwa.
Sampai suatu ketika Daksha mendatangi Siwa dan meminta Chandra dikembalikan pada ke-27 putrinya. Siwa awalnya tidak mau tapi pada akhirnya, Chandra pun dikembalikan pada Daksha setelah Wisnu ikut campur. Tapi sebagian kekuatan Chandra tetap ditinggalkan pada Siwa dan menjadi hiasan bulan sabit di kepala Siwa.
MEMBUNUH DAKSHA
Meski di luar tampak damai-damai saja, Siwa dan Daksha sebenarnya tidak pernah bisa benar-benar akur. Daksha terus menerus memusuhi Siwa dan puncak permusuhan mereka terjadi ketika Daksha mengadakan suatu upacara yajna – upacara korban – tanpa mengundang Sati maupun Siwa.
Sati beranggapan bahwa ayahnya sebenarnya mengundang mereka, tapi karena Sati adalah putrinya sendiri, Daksha merasa tidak perlu menyampaikan undangan langsung. Tapi Siwa sudah berpikir bahwa ini adalah isyarat bahwa Daksha tidak mengharapkan kehadiran mereka berdua. Tapi Sati tetap ingin datang ke yajna itu sehingga Siwa pun mengizinkan Sati datang ke sana, namun guna menghindari konflik, Siwa memutuskan tinggal di Iswaraloka. Meski begitu ia tetap mengutus sejumlah Gana – para asura bawahan Siwa yang umumnya berwajah seram – untuk mengawal Sati.
Dugaan Siwa terbukti benar. Kehadiran Sati dan Siwa memang tidak diharapkan di sana. Daksha yang mendapati Sati hadir di istananya, sepanjang pesta berlangsung tak henti-hentinya menjelek-jelekkan Siwa dan Sati. Sati yang tidak tahan akan cercaan ayahnya akhirnya memutuskan bakar diri di tempat itu.
Siwa yang merasakan istrinya tengah melakukan bakar diri langsung bergegas ke istana Daksha. Dan saat menyaksikan bahwa Daksha sama sekali tidak menyesali perbuatannya, Siwa langsung membantai seluruh hadirin yang ada di sana termasuk juga Daksha. Kemudian Siwa membawa kembali jasad Sati ke Iswaraloka sambil terus meratapi kematian Sati.
SAMUDRA MANTHAN
Pasca kematian Sati, Siwa kembali menjadikan Iswaraloka padang es sekali lagi. Sekali lagi ia memilih menjadi pertapa dan menjauhi keduniawian – terutama pernikahan. Namun saat racun halahala muncul dari dalam samudra yang diaduk oleh dewa dan asura, Siwa turun ke bumi untuk menelan racun mematikan itu. Siwa tetap hidup, namun tenggorokannya berubah warna menjadi biru gelap pasca menelan racun itu.
PERNIKAHAN KEDUA
Bertahun-tahun kemudian, seorang gadis Himalaya bernama Parwati kembali menjalani ritus yang sama seperti yang dijalani oleh Sati untuk menikahi Siwa. Tapi meski begitu, Siwa yang telah menutup seluruh inderanya tidak bisa dibangunkan oleh bakti yang dilakukan oleh Parwati. Melihat hal itu, Indra – raja para dewa – menyuruh Kama – dewa cinta – untuk memanah Siwa dengan panah asmaranya supaya Siwa terbangun.
Kama menjalankan perintah Indra, tapi respon pertama Siwa saat dipanah oleh Kama adalah marah karena ada orang kurang ajar yang mengganggu tapanya. Mata ketiga Siwa langsung terbuka dan menghanguskan Kama menjadi serpihan abu. Tapi begitu ia selesai dengan Kama, Siwa langsung melihat ada Parwati di sana. Karena Parwati punya karakteristik yang mirip dengan Sati.
Pasangan itu menikah dan nama Parwati berubah menjadi Durga. Siwa dan Durga kemudian memiliki beberapa anak yakni Ganesha, Murugan, Andhaka, dan menurut versi Jawa : Kala.
Dan Kama? Karena sudah terlanjur dihanguskan jadi abu, esensi kekuatan Kama yakni : nafsu dan cinta, disebar oleh Siwa ke dunia manusia supaya tanpa ada Kama sekalipun manusia masih bisa jatuh cinta.
GANA
Tidak seperti dewa-dewa Hindu lain yang dikelilingi oleh Gandarwa (bidadara) dan Apsara (bidadari), Siwa dikawal oleh sejumlah Gana. Gana sebenarnya lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan Asura, namun mereka tunduk pada Siwa dan tidak terlalu mengganggu manusia. Gana biasa hidup di area pekuburan, oleh karena itu altar atau pelinggih untuk memuja Siwa sering terdapat di area pekuburan. Gana awalnya dipimpin oleh Nandi, tapi saat ini dipimpin oleh Ganesha.
NATARAJA DAN SIWA AJNA
Siwa ditugaskan untuk mengakhiri suatu siklus Mahayuga. Ada dua cara yang mungkin dilakukan Siwa untuk mengakhiri suatu Mahayuga yakni :
1. Cara pertama : menggunakan mata ketiga (Siwa Ajna, Trilochana, atau Tryambakam) yang konon dapat menghancurkan apapun menjadi abu.
2. Cara kedua : Tandava Nataraja. Siwa adalah dewa penguasa segala tarian. Tapi di antara tarian-tarian ini ada satu tarian yang dinamai Tandava Nataraja. Tarian ini terdiri dari sejumlah gerakan kosmis yang konon bisa mengakhiri seluruh semesta.
DALAM RAMAYANA DAN MAHABARATHA
Dalam Ramayana, Wanara Hanoman konon merupaka putra atau awatara Siwa. Sebelum berperang melawan Rahwana pun, Rama berdoa pada Siwa supaya mengizinkan Rama untuk membunuh Rahwana – yang merupakan salah satu pemuja Siwa.
Dalam Mahabaratha, Siwa konon menganugerahkan senjata miliknya yakni panah Pasopati kepada Arjuna setelah seri dalam adu tanding memanah rusa saat Arjuna bertapa di suatu pegunungan.
SIWA DI NUSANTARA
Sebagian besar penganut Hindu di Nusantara pada abad 14-16 adalah Hindu Siwasidanta (Siwaisme). Hal ini membuat hampir setiap candi Hindu yang ditemukan di Nusantara memiliki karakteristik candi yang dipersembahkan untuk Siwa dengan ditemukannya arca Siwa atau arca lingga-yoni.
Hindu Dharma yang berkembang di Indonesia saat ini pun masih banyak terpengaruh Hindu Siwasidanta terutama dalam tatacara sesajinya dan penghormatan pada bhutakala (makhluk halus).
Ketika penganut Hindu di Jawa digantikan oleh penganut Islam, sosok Siwa dalam pewayangan diubah menjadi sosok Manikmaya. Perannya bukan lagi dewa pertapa dan dewa penghancur, melainkan raja para dewa – posisi yang semula dijabat oleh Indra.
• Nandi adalah mantan awatara Siwa sekaligus wahana Siwa.
• Siwa adalah satu-satunya dewa Hindu yang pernah mengalami rasanya menjadi duda.
• Siwa memiliki dua busur panah yakni Haradhanu dan Pinaka. Namun Haradhanu kemudian diserahkan pada Janaka, ayah Dewi Sinta, sementara Siwa sendiri memakai busur Pinaka.
• Trisula Siwa konon memiliki kekuatan melampaui Brahmastra milik Brahma.
• Siwa adalah guru dari Parasurama Awatara dan kelak akan memberikan senjata sakti kepada Kalki Awatara.
• Siwa sering bertindak sebagai penyeimbang tindakan Wisnu. Kala Wisnu ‘merampas’ Amrita dari tangan Asura pasca Samudra Manthan, Siwa memberikan mantra Mrit Sanjivani Vidya kepada Shukracharya (dewa yang memihak Asura) supaya para Asura kebal dari wabah penyakit apapun.
• Siwa adalah pemanah terbaik di antara para dewa.

Misteri Sungai Gangga



“pavanaù pavatäm asmi rämaù çastra-bhåtäm aham jhañäëäà makaraç cäsmi srotasäm asmi jähnavé, Diantara segala sesuatu yang menyucikan, Aku adalah angin, di antara para pembawa senjata Aku adalah Rama. Di antara ikan-ikan Aku adalah ikan hiu, dan diantara sungai-sungai yang mengalir Aku adalah sungai Gangga (Bhagavad Gita 10.31).
Sloka di atas hanyalah salah satu sloka Veda dari sekian banyak sloka-sloka Veda yang mengagungkan tentang kesucian sungai Gangga.
Dari awal peradaban Veda, Sungai Gangga digunakan untuk berbagai kegiatan, terutamanya dalam kegiatan ritual karena dipercaya bahwa air sungai Gangga membawa kesucian dan dapat menjadi prayascita/penyucian terhadap semua kekotoran. Masyarakat yang hidup di sekitar sungai Gangga juga memanfaatkan air sungai Gangga sebagai air minum, mencuci dan juga membuang kotoran. Tidak hanya itu, sungai Gangga juga dijadikan tempat membuang abu jenasah oleh masyarakat Hindu yang tidak hanya dari India, tetapi dari penjuru dunia. Yang lebih mengerikan lagi, acap kali mayat yang belum terbakar secara sempurna sudah dihanyutkan ke dalam sungai Gangga. Sehingga jangan heran jika anda menemukan mayat manusia atau tengkorak utuh di sekitar sungai Gangga. Mengerikan bukan?

Secara kasat mata memang betul bahwasanya air sungai Gangga tampak keruh, dijejali oleh ribuan orang yang melakukan berbagai kegiatan. Ada yang sibuk dengan ritual keagamaan, mandi, mencuci, kakus atau hanya sekedar melancong. Berbagai kotoran tampak berserakan di sekitar sungai yang dianggap suci tersebut sehingga terkesan sangat-sangat kumuh.
Fenomena ini sering kali dijadikan isu menarik untuk melakukan propaganda agama oleh beberapa oknum umat agama lain untuk mengalihkan pengikut Hindu atau mencegah agar orang-orang tidak tertarik menjadi agama Hindu.
Namun dibalik kekotoran dan lingkungan yang kumuh tersebut, terdapat keanehan yang luar biasa yang membuat banyak orang-orang saint tercengang. Seorang senior di Narayana Smrti Ashram Yogayakarta, Budi Raharjo, M.BA yang merupakan seorang dosen dan juga guru di beberapa perguruan tinggi dan Sekolah Mengengah di Yogayakarta sempat hidup dan menempuh pendidikan master di India selama beberapa tahun. Pada suatu kesempatan di tahun 2004 yang lalu beliau mengambil dan membawa pulang sebotol kecil air sungai Gangga. Karena kebetulan beliau juga menjalankan usaha air RO (reverse osmosis) dan memiliki alat penguji kadar logam dan kualitas air yang dapat digunakan untuk menguji suatu air layak minum atau tidak, akhirnya beliau mencoba menguji beberapa sampel air yang beliau miliki. Beberapa sampel itu antara lain air sungai Gangga, air sumur bor yang berlokasi di dekat jalan di depan ashrama, air sumur di belakang yang dekat dengan kandang sapi, air minum bermerk dan air zamzam.
Apa yang terjadi? Ternyata kualitas air sungai Gangga sangat layak minum dan memiliki kadar logam sedikit di atas air dalam kemasan. Air sumur yang terletak di dekat kandang sapi juga memiliki kualitas yang lebih tinggi dari air sumur bor yang ada di depan dan air samsam memiliki kadar logam yang cukup tinggi. Bagaimana mungkin air sungai Gangga yang terlihat kotor tersebut menjadi layak minum?
Keanehan sungai Gangga ini ternyata juga mengundang banyak ahli-ahli saint modern melakukan penelitian terhadap air sungai Gangga.
Dr. D, Herelle adalah seorang dokter berkebangsaan Perancis. Pada suatu hari beliau melihat sendiri, mayat-mayat mengambang di Sungai Gangga. Mayat-mayat yang bergelimpangan di sungai itu, merupakan korban-korban keganasan wabah kolera dan desentri. Di hilir tidak jauh dari mayat-mayat yang menjijikkan itu, dilihat pula oleh Dr. D,Herele, orang-orang mandi dengan asyiknya. Malahan diantara mereka ada yang meminum air sungai tanpa merasakan jijik. Tetapi mengapa mereka tidak ketularan kolera dan desentri yang kejam itu? Aneh! Dr. D,Herele, yang tahu betul tentang medis sangat keheranan menyaksikan keajaiban dunia yang satu ini.
Sebagai seorang ilmuwan, dokter Prancis itu terpanggil untuk menyelidikinya. Ia pulang, kemudian mengumpulkan kuman-kuman itu dibawanya ke tepian Sungai Gangga. Dan dicampur dengan air Sungai Gangga yang telah diambilnya dengan gelas. Betapa terkejutnya Dokter itu, ternyata, dalam waktu yang relatif singkat, kuman-kuman kolera dan desentri itu mati.
Penyelidikan pun dilanjutkan. Dr. D, Herelle mendekati mayat-mayat yang mengambang di Sungai Gangga. Dengan menggunakan mikroskop ia melakukan penelitian berikutnya. Dan ternyata cuplikan sampel yang dia ambil dengan radius kurang lebih setengah meter dari mayat-mayat itu sama sekali tidak ditemukan seekorpun kuman desentri dan kolera yang hidup. Dari hasil penyelidikkannya Dr. D,Herelle menyatakan, “suatu mineral yang tak dikenal, yang terkandung oleh air sungai Gangga, bisa membunuh kuman-kuman penyakit”.

Dr. G.E. Nelson, yaitu seorang dokter berkebangsaan Inggris, juga mengadakan penelitian mengenai keberadaan air sungai Gangga ini. Ia membuktikan, bahwa kapal-kapal yang berlayar dari Calcutta, pelabuhan India paling timur , yang menuju Inggris, mengambil air perbekalannya dari Sungai Hugli. Sungai Hugli, adalah suatu muara Sungai Gangga yang airnya paling kotor. Walau kapal-kapal itu berlayar berbulan-bulan, ternyata air yang dibawanya masih segar, tidak berbau. Sedangkan kapal-kapal yang berlayar dari Inggris menuju India, mengambil air perbekalan dari Pelabuhan Inggris, setelah kapal-kapal itu berlayar selama satu minggu, setibanya di pelabuhan India terbarat, Bombay air perbekalannya sudah berbau busuk, tidak dapat diminum lagi, walaupun air perbekalan itu telah diganti terusan Suez atau di Aden (Laut merah). Dari hasil penyelidikannya itu Dr. G.E. Nelson berpendapat, “Air sungai Gangga, mengandung suatu unsur-unsur yang belum dikenal, sehingga air itu tahan berbulan-bulan”. Bahkan telah dibuktikan, bahwa kesegaran air Sungai Gangga itu dapat bertahan bertahun-tahun.
Seorang sarjana Amerika yang berasal dari Kanada, Dr. F.G. Harrison, juga mengadakan penyelidikan terhadap keajaiban Sungai Gangga. Setelah melakukan penyelidikan, Ia berkata: “Suatu keajaiban alam yang belum dapat diterangkan. Ternyata, kuman-kuman kolera dan lain-lainnya, mati dengan cepatnya, setelah berada dalam air sungai Gangga. Anehnya, khasiat pembunuh kuman dari Sungai Gangga itu, akan hilang, jika air itu dimasak. Dan jika air Sungai Gangga dicampur dengan air lain, air sumur ditepian Sungai Gangga sekalipun, dengan seketika kuman-kuman penyakit tidak mati malah akan berkembang biak dengan cepatnya.”
Seorang doter Prancis yang paling laku di negerinya, memilih tinggal di tepi Sungai Gangga. Ia meninggalkan negerinya, setelah mengetahui Khasiat dari Sunga Gangga. Dan kini, ia menjadi sorang sadhu, orang suci Hindu.
Seorang Amerika, yang baru mendapat title Dotor dalam filsafat dari Benares Hindu University (BHU) dilaporkan meninggalkan asrama walaupun asrama itu mewah. Ia memilih hidup di sebuah perahu, yang mengambang ditepian Sungai Gangga. Kalau ia mandi, tidak pernah memakai sabun. “Percuma”, katanya. Ia percaya bahwa air Sungai Gangga saja sudah membunuh segala kuman yang mungkin ada di badan.
Jadi tidaklah salah apa yang disampaikan oleh Veda yang mengagung-agungkan kesucian sungai Gangga yang dikisahkan turun dari svargaloka dan disanggah oleh Dewa Siva dengan kepadanya di pegunungan himalaya sebelum akhirnya mengalir dalam bentuk sungai Gangga.
Anda belum yakin? Silahkan buktikan sendiri dengan datang langsung ke sungai Gangga.